LIPUTANSBM, BAHU PALAWA - Di tengah arus modernisasi yang menggerus tradisi di banyak tempat, Desa Bahu Palawa di pedalaman Kalimantan Tengah justru menunjukkan hal sebaliknya.
Desa ini tetap teguh memelihara kearifan lokalnya. Mulai dari ritual adat, seni budaya, hingga gotong royong ibu-ibu desa, semua dijaga hidup oleh warganya.
“Desa Bahu Palawa itu punya kekayaan tradisi yang tidak semua orang tahu,” kata Dhevy Permatasari, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Universitas Palangka Raya, yang melakukan wawancara dengan para tokoh masyarakat setempat, Selasa (29/7/2025).
Pertama-tama, ia menemui Deong, mantir adat atau tokoh adat tertinggi di desa. Lelaki paruh baya ini duduk bersila di dalam rumah panggung beratap sirap. Tempat wawancara terjadi sekaligus menjaga api adat tetap menyala.
“Tradisi di sini banyak. Salah satunya Pekanan Sahabat, lalu ada juga ritual pembukaan lahan yang tidak boleh sembarangan,” ujar Deong.
Bagi warga Bahu Palawa yang berasal dari suku Dayak, membuka lahan baru berarti berhadapan dengan roh-roh halus. Maka sebelum cangkul menyentuh tanah, harus digelar ritual adat untuk mengusir gangguan gaib.
Ada pula tradisi Tiwah, sebuah upacara besar pemindahan tulang belulang leluhur.
“Itu bukan sekadar budaya, tapi warisan spiritual yang kami junjung,” katanya.
Deong mengakui, menjaga warisan budaya di tengah generasi muda yang kian terpapar dunia luar bukan perkara mudah.
“Kami para tokoh adat harus lebih aktif menjangkau anak-anak muda. Mereka perlu diberi pengertian soal adat,” ujarnya.
Ia percaya, tanpa pemahaman itu, ketentraman masyarakat bisa terganggu.
Pemerintah desa ternyata tak tinggal diam. Kepala Desa Bahu Palawa, Fordecun, menyadari potensi budaya sebagai kekuatan ekonomi sekaligus identitas desa.
 |
KKN-REGULER DESA BAHU PALAWA II TAHUN 2025
|
“Kami mendukung penuh pelestarian budaya. Sekarang sedang giat-giatnya membina komunitas seni seperti Sanggara Bawi Ambah dan seni bela diri Ratang Ruhung,” ujar Fordecun.
Menurut dia, pemerintah desa telah memasukkan pelestarian budaya sebagai bagian dari misi strategis pembangunan. Bahkan anggaran desa turut dialokasikan untuk kegiatan seni dan pelestarian situs budaya seperti Rumah Jaga Bahen, sebuah bangunan bersejarah yang kini jadi ikon desa.
Di sisi lain, kelompok ibu-ibu PKK Bahu Palawa juga punya peran penting dalam menjaga harmoni sosial dan tradisi lokal.
“Kami budayakan gotong royong,” kata Kartini, sekretaris TP-PKK.
Bagi mereka, gotong royong bukan hanya kerja bakti, tapi juga cara menjaga kebersamaan. Mereka rutin membersihkan kebun TOGA dan membangun fasilitas publik secara swadaya.
“Kalau kerja bareng-bareng, hasilnya juga untuk kebaikan bersama,” ujar Elva, ketua TP-PKK, sembari tersenyum.
Dari percakapan dengan para tokoh tersebut, tergambar betapa Bahu Palawa bukan sekadar desa adat biasa. Ia adalah benteng hidup tradisi Dayak di tengah dunia yang terus berubah.
Masyarakatnya tak hanya menjaga budaya sebagai simbol, tapi menghidupinya dalam keseharian mulai dari membuka lahan, menyambut tamu, hingga membangun lapangan voli.
Di akhir kunjungannya, Dhevy menyimpulkan bahwa Bahu Palawa adalah contoh konkret desa yang tak kehilangan jati diri.
“Semoga ini bisa menginspirasi banyak orang untuk melihat kembali nilai-nilai lokal yang mungkin sudah lama ditinggalkan,” ujarnya.
Dan dari Bahu Palawa, suara itu terdengar jelas: budaya bukan barang kuno, tapi napas kehidupan.
Pewarta : Antonius Sepriyono