Kalsel - Penyerangan sekelompok orang terhadap warga yang menggelar aksi demo terkait banjir di kilometer NOL Banjarmasin, menuai kecaman dari sejumlah pihak.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane menyebutkan bahwa aksi penyerangan sekelompok massa preman itu sebagai aksi yang membahayakan bagi demokrasi di Indonesia.
“Pembubaran aksi massa oleh preman adalah sebuah tindakan otoriter yang jelas melanggar hukum dan demokrasi, apalagi jika aksi itu sudah mendapat izin dari kepolisian setempat. Seharusnya, preman yang seperti ini secepatnya ditangkap. Tapi anehnya, kenapa polisi membiarkan para preman yang membubarkan aksi tersebut. Ada apa ini,?” kata Neta S Pane seraya bertanya dalam keterangan presnya, Jum’at (5/2/2021).
Disebutkan, dalam video penyerangan dan pembubaran aksi massa tersebut, tampak seseorang yang mengancam akan memukuli massa jika masih melakukan aksi demo.
“Videonya sudah viral beredar, tapi polisi masih belum melakukan tindakan apapun juga. Ini perlu dilakukan evaluasi oleh Kapolri baru. Seolah-olah Kapolda Kalsel takut dengan sekumpulan preman tersebut,” tegasnya.
Karena itu, IPW mendesak Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk mencopot Kapolda Kalsel, Irjen Pol Rikwanto dari jabatannya serta menurunkan Divisi Propam untuk memeriksa seluruh anggota polisi yang berada di lapangan yang membiarkan aksi premanisme tersebut terjadi, harapnya.
“Jika Kapoldanya tidak tegas menindak aksi-aksi premanisme di wilayahnya itu, sebaiknya segera dicopot dan diganti dengan pejabat baru yang tegas sehingga konsep presisi Kapolri bisa terlaksana dengan baik,” tambahnya.
Laki-laki kelahiran Medan, 18 Agustus 1964 ini menambahkan, dari kasus ini terlihat bahwa aparatur Polda Kalsel seakan lupa, bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan kalau ada aksi premanisme yang mengganggu orang lain serta mengancam dan mencaci maki, maka polisi harus segera bertindak.
“Sebab jika dibiarkan hal-hal seperti itu sangat membahayakan masyarakat dan sama artinya Polda Kalsel membiarkan hukum rimba terjadi,” tukas Neta S Pane menegaskan.
Senandung nada terpisah, Irjen Pol (Purn) Drs. Daradjat Tirtayasa, S.H., M.M. mengatakan, sepanjang LSM tersebut mengantungi izin dari pihak kepolisian dalam melaksanakan aksi penyampaian pendapat di muka umum, maka siapapun tidak bisa membubarkannya, tak terkecuali pihak kepolisian itu sendiri.
“Itu saya lihat preman-preman dengan sewenangnya memububarkan aksi tersebut, itu perbuatan pidana, tidak boleh pihak lain membubarkan disaat mereka menyampaikan pendapat dimuka umum tersebut, kecuali aparat yang membubarkannya, itupun jika mereka melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur didalam peraturan,” tegas Dewan Pembina dan Penasehat DPN P3HI kepada wartawan.
Menurut Daradjat Tirtayasa, didalam Perkap di jelaskan, dalam aksi penyampaikan pendapat dimuka umum tersebut harus memberitahu kepada pihak kepolisian secara tertulis.
“Saya dulu adalah Wakil Ketua Tim penyusunan Peraturan Kapolri tersebut disaat saya masih aktif di Mabes Polri, jadi yang berhak membubarkan sekelompok orang menyampaikan pendapat dimuka umum itu adalah pihak kepolisian, bukan para preman-preman tersebut,” ungkapnya dengan tegas Jenderal Bintang Dua ini, Jum'at kemaren (5/2/2021).
Dijelaskan dalam Perkap No. 7 Tahun 2012 dijelaskan, unjuk rasa itu adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
“Aparat itukan wajib memberikan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam pengamanan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum itu, pahamkan maksud saya, intinya preman yang membubarkan massa dalam aksi demo itu jelas sebuah tindakan kriminalisasi dan itu adalah perbuatan melanggar hukum, harus ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” tukasnya. (Red) #liputansbm