Kriminalisasi Terhadap Wartawan Menurut UU Pers 40/1999 - Liputan Sbm

Nusantara Baru Indonesia Maju

Nusantara Baru Indonesia Maju

29 June 2021

Kriminalisasi Terhadap Wartawan Menurut UU Pers 40/1999

liputansbm


Semarang - Ulah segelintir oknum yang mengatasnamakan Dewan Pers, membuat keputusan yang diambil menjadi berat sebelah. Bahkan terkesan bertindak sebagai orang luar dari komunitas pers. Lebih jauh bahkan berakibat kematian bagi jurnalis.


Padahal ada UU dan aturan main yang telah disepakati bersama, agar tindakan jurnalis yang melangkah terlalu jauh dari koridornya sebagai pewarta ditindak dengan UU milik pers sendiri. 


Sadar ataupun tidak tindakan segelintir oknum tersebut, menyebabkan kerusakan mental jurnalis. 


Hal ini mengakibatkan cederanya UU Pers, dan menjadikan rekan2 jurnalis sebagai kriminal di mata hukum. Kemudian menindak dengan cara tidak transparan, diorganisir dengan cantik, seolah2 tindakan jurnalis semuanya salah dimata hukum. 


Tak heran kelompok wartawan ini, termasuk penulis, bersikap menolak kebijakan kelompok tersebut karena sudah paham betul selama bertahun-tahun telah dijadikan objek bisnis UKW. Minggu, 26/6/2021.


Kelompok ini sepertinya belum mau sadar dari tidur panjangnya. Sudah ternina-bobokan oleh alunan merdu suara seirama kelompok ini dan para kaki-tangannya.


Sayangnya, kelompok ini masih saja terlena dan bangga menyandang status konstituen. Wajar saja karena terbawa arus kemudahan meraih lembar rejeki saat berada di kancah peliputan. Tidak ada yang salah pada kondisi ini.


Namun faktanya, tidak sedikit wartawan TV dan Media Nasional terpaksa, maaf, menjual idealisme untuk sekedar menjaga asap dapur dan memenuhi gaya hidupnya dengan menerima amplop dari para narasumber. Hal itu Sudah menjadi rahasia umum dan praktek itu terjadi di seluruh Indonesia.


Di satu sisi, kelompok ini, selalu membuat stigma negatif terhadap wartawan kelompok non konstituen dengan sebutan aba-abal dan menerima imbalan dalam menjalankan tugas jurnalistik. Di sisi lainnya, kenyataan di lapangan praktek yang sama juga berlaku bagi wartawan media mainstream.


Untuk membuktikan hal itu benar terjadi, maka penulis sudah melakukan riset di lapangan berdasarkan besaran gaji wartawan media mainstream. Hampir di seluruh Indonesia wartawan media mainstream menggaji wartawan tidak lebih dari Upah Minimum Provinsi atau UMP untuk level reporter. Bahkan ada banyak pula yang masih di bawah UMP.


Lebih miris lagi, sebagian besar wartawan TV Nasional yang bertugas di daerah tidak digaji bulanan namun hanya berdasarkan jumlah perolehan berita yang ditayangkan medianya.


Sudah begitu tidak ada yang sadar bahwa Undang-Undang Penyiaran sangat jelas mengatur tentang kesejahteraan karyawan lembaga penyiaran swasta termasuk wartawan di dalamnya.


Pada Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran : “Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.” Pasal ini mengatur tentang kesejahteraan wartawan dan karyawan TV wajib diberikan pembagian laba perusahaan. Bahkan pelanggaran terhadap pasal ini akan dikenakan pidana penjara dan denda uang.


Pada Pasal 57 UU Penyiaran : “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang :


(a). melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)"


Pada kenyataannya, hampir seluruh wartawan yang bekerja di lembaga penyiaran swasta diduga tidak diberikan haknya untuk mendapatkan pembagian laba perusahaan. Padahal berdasarkan riset AC Nielsen, media Televisi paling besar mendapatkan porsi belanja iklan nasional yang tidak pernah kurang dari 100 triliun rupiah setiap tahunnya sejak tahun 2015.


Seharusnya laba bersih triliunan rupiah media TV sebagiannya wajib dibagi kepada wartawan dan karyawan TV sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penyiaran. Jika itu dilanggar maka sanksi pidana 5 tahun dan denda 10 milyar rupiah harus dikenakan kepada pimpinan perusahaan lembaga penyiaran swasta yang tidak pernah memberikan kewajiban tersebut.


Sampai hari ini belum ada sikap dari Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menegakan aturan pada pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 57 huruf a pada Undang-Undang Penyiaran ini. Hak-hak wartawan dan karyawan tidak diperjuangkan meski ada aturan dan sanksi pidana 5 tahun penjara dan denda 10 milyar rupiah bagi perusahaan yang mengabaikannya.


Perusahaan pers Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga mengatur tentang kesejahteraan wartawan. Meski tidak ada sanksi yang mengatur jika perusahaan pers mengabaikannya.


Pada pasal 10 UU Pers jelas menyebutkan : “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya".


Sayangnya wartawan konstituen yang selama ini berlindung dan bangga tidak sadar dibiarkan menjadi “Pengemis Sakti” dalam menjalankan profesinya. Pada kondisi ini penulis teringat dengan judul lagu lawas "Jangan ada dusta di antara kita”.


Dampak dari kondisi ini, solidaritas pers nyaris mati di antara kedua kelompok ini. Ketika salah satu wartawan anggota kelompok non konstituen menjadi korban kekerasan atau diskriminasi, kelompok lainnya merespon dingin dan seolah hanya sekedar informasi biasa saja.


Akan halnya kejadian wartawan Marasalem Harahap, Pemred media Laser News di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tewas ditembak oleh orang tak dikenal. Tapi peristiwa besar itu tidak diekspos secara besar-besaran oleh media TV nasional. Seharusnya penembakan terhadap wartawan yang mengancam kebebasan pers menjadi isu menarik untuk diangkat agar mengundang reaksi Presiden RI Joko Widodo untuk bicara. Namun sayangnya, Media TV Nasional enggan memberitahukan.


Media TV sepertinya sudah terbiasa lebih tertarik memuat berita jika peristiwanya sodomi atau mutilasi anak secara berulang-ulang, ketimbang mengungkap peristiwa penembakan wartawan yang mengancam kebebasan pers dan menimbulkan ketakutan di kalangan wartawan yang aktif melakukan sosial kontrol.


Belum lama ini juga ada peristiwa menggemparkan di Sulawesi, seorang Oknum Kepala Dinas yang berhubungan dengan informasi publik, digerebek polisi sedang berduaan dengan istri orang di dalam sebuah kamar kos dan diliput oleh media. Namun sayangnya berita itu luput dari perhatian media TV nasional. Padahal, pelakunya juga merupakan salah satu ketua asosiasi berlevel nasional.


Lebih parah lagi, berita peristiwa penegakan hukum penggerebekan polisi yang merupakan fakta peristiwa operasi justitia Polres Kota setempat, malah dinilai dewan Pers sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh sejumlah media lokal.


kelompok ini secara sewenang-wenang dan tidak profesional menjatuhkan rekomendasi kepada seluruh media yang menjadi teradu agar membuat permintaan maaf kepada pengadu Oknum Kepala Dinas yang notabene sebagai terlapor dugaan berzinah dan berselingkuh dengan istri orang dan kasusnya masih ditangani pihak Polres. Padahal kasus tersebut statusnya belum di SP3 meski penyidik menyatakan belum cukup bukti pada tahap penyelidikan.


Akibat dari rekomendasi, tiga media yang tidak bersedia memuat permintaan maaf dilaporkan Oknum Kepala Dinas ke polisi dengan tuduhan fitnah, menyebarkan berita hoax, dan mencemarkan nama baiknya.


Bagaimana mungkin peristiwa penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian dituding sebagai berita hoax dan fitnah. Seharusnya petugas polisi yang melakukan penggerebekan dan Kepala Polres yang menjadi nara sumber berita itu dijadikan terlapor karena menyampaikan informasi tersebut kepada wartawan saat dikonfirmasi.


Pada kondisi ini kelompok ini gagal total dalam menjalankan amanah sebagaimana diatur dalam UU Pers. Pasal 15 Ayat (1) : “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.”


Menyikapi hal ini, penulis perlu mengingatkan kepada seluruh anggota dan pendukung Kelompok ini, kembalilah pada jalan yang benar. Segera hentikan kerusakan sistem dalam pers Indonesia.


Undang-Undang tidak memberikan kewenangan satu pun kepada Kelompok ini untuk membuat peraturan di bidang pers. Pasal 15 Ayat (2) huruf F yang selama ini digunakan Dewan Pers sebagai dasar hukum menerbitkan atau mengeluarkan peraturan di bidang pers sesungguhnya telah mengambil hak dan kewenangan organisasi-organisasi pers sebagaimana diatur dalam) pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers : “Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.”


Kalimat di atas jelas kewenangan menyusun peraturan pers ada pada organisasi pers. Anak SMU juga pasti paham dengan kalimat ini. UU Pers hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.


Dan untuk memastikan tentang penafsiran Dewan Pers yang keliru terhadap pasal penyusunan peraturan di bidang pers ini maka dalam waktu dekat ini penulis bersama-sama dengan sejumlah tokoh pers akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tujuannya agar Dewan Pers berhenti melakukan pembodohan publik dan membuat kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mencederai kemerdekaan pers. #liputansbm


Penulis : Puji S


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda