Kalsel - Sidang sesi kedua Pengadilan Negeri Marabahan Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan yakni pembacaan Eksepsi atas tuntutan Jaksa dari Kejaksaan Negeri Marabahan.
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Andi Rachmad Sulistiyanto, SH tersebut mendudukan terdakwa SHS orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dengan perkara dugaan Pelanggaran Undang-undang Narkotika. Sidang ini dilaksanakan secara virtual online via zoom. Jum'at, 23/07/2021.
Wijiono, SH, MH pengacara terdakwa mengatakan sidang ini membacakan eksepsi sebanyak 17 halaman, dimana di dalam isinya meminta majelis hakim untuk menolak dakwaan jaksa.
"Sidang ini cukup lama loh!!! hampir berlangsung dua jam. Dalam eksepsi sebanyak 17 halaman yang kami sampaikan meminta majelis hakim untuk menolak dakwaan jaksa dan membebaskan status terdakwa klien kami," kata Wijiono, SH, MH, Kamis (22/7/2021).
Menurut Wijiono SH MH yang juga Sekretaris Jenderal Perkumpulan Pengacara dan Penasehat Hukum Indonesia (P3HI), semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dilayangkan tersebut jelas-jelas tidak mendasar dan terkesan tergesa-gesa.
"Dakwaan JPU itu sepertinya tidak mendasar dan pembuatannya tanpa kajian sama sekali, sekedar kami sampaikan bahwa terdakwa adalah orang sedang gangguan jiwa alias tindak psikologisnya tidak normal," ucapnya.
Didampingi sejumlah rekannya sesama advokat P3HI, Wijiono membeberkan, bahwa sejak perkara tersebut di kepolisian sudah tidak mendasar.
"Kami menduga kuat, penangkapan terhadap klien kami adalah sandiwara, karena klien kami adalah dikorbankan oleh bandar narkoba yang terkesan sudah terencana dengan rapi serta profesional. Bahkan kami sesalkan dakwaan jaksa pun tergesa-gesa dan mengesampingkan praduga tak bersalah. Ini pertama kalinya saya sebagai pengacara orang yang tidak waras dan inipun merupakan lembaga pengadilan pertama yang mengadili orang gila," tukas Mas Wiji panggilan akrabnya.
Sementara itu Pengacara lainnya yakni, H Aspihani Ideris, SH, MH mengatakan, dalam eksepsi yang disampaikan tersebut bertujuan mengungkap kebenaran dan dengan harapan menyadarkan penegak hukum, bahwa dalam memutus sebuah perkara harus berlandaskan keadilan dan kebenaran.
"Dengan eksepsi ini, kita berharap JPU jangan asal dakwa terhadap terdakwa, begitu juga dengan hakim harus memutus sebuah perkara dengan perasaan serta kebenaran. Kita inginkan hukum itu adalah panglima," katanya.
Aspihani Ideris, SH, MH yang juga seorang Dosen di Fakultas Hukum UNISKA Banjarmasin ini, menegaskan bahwa tugas hakim tersebut harus memutus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan keadilan yang hakiki.
"Berlaku adil itu adalah di antara satu perintah Allah yang harus dilakukan setiap manusia, terkhusus terhadap hakim dalam memutus sebuah perkara," ujar Aspihani ini.
Mengutip firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Disisi lain, Aspihani yang merupakan tokoh pergerakan Kalimantan ini mendalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, bahwa para hakim itu katanya hanya tiga orang.
"Hakim itu tiga orang, Satu di surga dan dua lainnya di neraka. Seorang yang di surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan hukum dengan kebenaran. Kelak ia ditempatkan di surga. Seorang lagi, hakim yang mengetahui kebenaran, tapi culas. Ia tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran. Maka ia bakal di neraka. Yang satu lagi, hakim yang bodoh, tidak tahu kebenaran, dan menetapkan hukum atas dasar hawa nafsu. Ia juga ditempatkan di neraka," pungkasnya. #liputansbm