Jepara - Seorang Insan pers berpotensi menjadi manusia yang terbaik melalui tulisan yang dituangkan di media massa dan Sebaliknya, hal ini dapat bertolak belakang sekaligus bertentangan dengan kewajiban sebagai Jurnalis ketika mendiamkan, abai, membiarkan, dan bahkan mendukung kemungkaran, padahal dirinya mengetahui dan mampu berbuat dalam mencegah dan mengubah kemungkaran dengan perantaraan apapun yang dimungkinkan. Menjadi sebuah pertanyaan Apakah tugas mulia tersebut mampu diperankan pers di era reformasi, Jepara, 06/08/2021
Setelah sekian lama terkekang di era pemerintahan orde baru, kehidupan pers di Indonesia selangkah lebih maju menuju kebebasan ketika reformasi bergulir pada bulan Mei 1998. Termasuk reformasi pada bidang pers. Reformasi pada bidang pers ditujukan agar kehidupan pers benar-benar memperoleh kebebasan.
Sehingga dengan kebebasan tersebut dapat menciptakan suatu kondisi dimana Jurnalis bisa berada pada posisi yang tidak tertekan oleh siapapun termasuk dari pihak penguasa, dan tidak selalu bisa diajak berkompromi.
Sebaliknya, dengan kebebasan, Jurnalis dapat semakin kritis dalam berpikir dan menggunakan akal sehat sehingga dapat mengeksplorasi suatu informasi, peristiwa ataupun kasus yang terjadi tanpa beban apapun dan dengan tanpa kompromi.
Salah satu fungsi pers adalah sebagai Sosial Kontrol yang dengan fungsi tersebut pers dapat menyampaikan koreksi, kritik dan saran terkait dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Itu hanya dapat dilakukan dalam kondisi kebebasan pers.
Fungsi kontrol tersebut dalam rangka mencegah terjadinya penyelewengan, seperti Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan berbagai penyimpangan lainnya.
Pers yang tertekan dan bisa dikompromi akan menjadi alat penguasa. Ketika sudah menjadi alat penguasa maka kedudukan pers sebagai pilar keempat demokrasi tidak dapat diperankan dengan baik.
Sejak tumbangnya orde baru, langkah pertama untuk memulai kebebasan pers adalah dengan mencabut aturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Upaya lainnya adalah penghapusan Departemen Penerangan. Departemen ini di era pemerintahan orde baru memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menekan dan mengatur pers. Paling pokok adalah diterbitkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini merupakan tonggak awal kebebasan pers di Indonesia.
Secara normatif, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menganut sistem pers tanggung jawab sosial yang menekankan kebebasan pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat atau kepentingan umum. Juga memberikan kewenangan pada publik untuk mengontrol kinerja pers. Bukan memberikan wewenang pada pemerintah untuk mengontrol kinerja pers seperti di era orde baru.
Sewaktu reformasi bergulir, dengan alasan bahwa demokrasi tidak bisa terbangun tanpa kebebasan pers, dan menjadi syarat tegaknya sebuah negara demokrasi. Maka salah satu tuntutan dalam membangun negara demokrasi kala itu adalah menegakkan kebebasan pers.
Pers yang terbelenggu dan terkekang menjadi pertanda bahwa negara tersebut menganut sistem otoriter dan pertanda terjadi kemunduran dalam demokrasi. Sebab dengan kebebasan pers maka pers dapat berkembang secara sehat dan publik dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.
Selain itu, dengan adanya kebebasan, pers bisa secara leluasa menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Sebagai catatan, kebebasan pers yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan nilai-nilai agama serta norma-norma sosial yang dianut bangsa Indonesia. Seperti tidak mengeksploitasi seks, mengumbar aurat wanita, kekerasan, penghinaan terhadap agama, suku, ras, dan lain-lain. Juga dimaksudkan untuk menegakkan yang benar dan melarang yang salah atau tidak baik. Ini tidak sekedar sebagai fungsi dalam pers, tetapi menjadi kewajiban sesuai dengan kemampuan melalui tangan atau pemberitaan.
Sejak memperoleh kebebasan yang dijamin Undang-undang Pers, yang kemudian disusul dengan munculnya berbagai macam perusahaan pers, pers tidak boleh lagi menjadi corong pemerintah yang hanya menyuarakan kepentingan penguasa secara tidak berimbang dengan kekurangan, bahkan penyimpangan yang dilakukan pemerintah.
Siapa saja termasuk pemerintah tidak mempunyai kapabilitas untuk menetapkan media massa atau pers dalam posisi sebagai teman (friends) atau musuh (foes). Juga tidak boleh sama sekali dijadikan atau menjadikan dirinya sebagai corong pemerintah.
Lebih lanjut, sebagai tugas pers yakni mencari, menemukan dan menyampaikan kebenaran, bukan kebohongan, ke khalayak, pers hendaknya memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diperoleh dengan cara melakukan konfirmasi, verifikasi, penelusuran, dan pencarian fakta-fakta atas kebenaran informasi atau rilis berita yang diperoleh atau dengan kata lain tidak menggunakan sistem terima beres.
Jika Jurnalis hanya menggantungkan perolehan informasi dari satu sumber tertentu secara mutlak, katakanlah dari humas institusi pemerintah, maka hal itu sama saja dengan memposisikan diri sebagai staf humas pemerintah atau corong penguasa. Saat itulah kebenaran tidak dapat terkuak, dan tidak terjadi perimbangan dalam menyajikan informasi, sekaligus demokrasi tidak tumbuh secara sehat karena fungsi kontrol tidak terimplementasi sebagaimana mestinya.
Sebagai the agents of democracy, pers dituntut lebih mengedepankan profesionalisme dan idealisme dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Ini harus menjadi perhatian dalam menyajikan pemberitaan ke khalayak agar Jurnalis semakin jauh dari peran yang dimainkan para buzzer.
Undang-undang Pers menyatakan bahwa Pers bersifat independen yang berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sebagai kontrol sosial, pers berfungsi untuk menyampaikan peristiwa buruk yang menyalahi aturan perundang-undangan, tidak pada tempatnya, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dalam rangka menemukan solusi. Setidaknya, dengan fungsi kontrol, publik dapat melakukan kewaspadaan dan pencegahan agar peristiwa atau kasus serupa tidak berlanjut dan tidak terulang.
Sebagai sarana kontrol sosial, pers juga mendorong publik untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan demokratis, dan menuntut transparansi serta pertanggung jawaban pihak penyelenggara negara terhadap rakyat. Selaku pemilik otoritas, pemerintah diberi mandat untuk memberikan pelayanan publik secara optimal. Dan masyarakat memiliki hak untuk dipenuhi oleh pemerintah.
Tetapi, pemerintah belum tentu bisa memberikan pelayanan yang maksimal. Terdapat beberapa kesalahan, kelalaian, penyimpangan atau bahkan kesengajaan dalam memberikan pelayanan publik, sehingga berdampak buruk kepada masyarakat.
Sehingga warga negara diberikan legalitas dalam turut berpartisipasi secara aktif termasuk melalui pemberitaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan penyimpangan terutama dalam hal penggunaan keuangan. Partisipasi tersebut, tak boleh hanya secara prosedural dengan menggunakan hak pilih di dalam Pemilu, Pilpres, Pilkada, dan Pilkades, namun mesti menjadi warga negara yang substansial dengan mengontrol dan mengawal kebijakan pemerintah.
Pers dalam hal ini berperan menjembatani suara rakyat kepada pemerintah agar dapat ditransformasikan menjadi kebijakan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Media dapat digunakan sebagai sarana kritik terhadap kekuasaan dan kontrol masyarakat. Juga sebagai ruang publik dan penjernih informasi antara publik dengan penguasa sehingga di antaranya tidak ada kebohongan atau hoaks.
Sebagai pilar demokrasi, semestinya semua pihak menunjukkan kesungguhan secara nyata untuk senantiasa melindungi kehidupan pers yang bebas, independen, profesional dan bertanggung jawab dari berbagai ancaman atau pembatasan. Sebaliknya, pers juga mesti melaksanakan tugas jurnalistik secara independen, kredibel, dan mandiri. #liputansbm
Pewarta : Puji S