Kasasi Baihaqi Difabel Tunanetra Dikabulkan MA, Terbukti Pemprov Jateng Diskriminatif - Liputan Sbm

Nusantara Baru Indonesia Maju

Nusantara Baru Indonesia Maju

21 December 2021

Kasasi Baihaqi Difabel Tunanetra Dikabulkan MA, Terbukti Pemprov Jateng Diskriminatif

 


Semarang - Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang dilakukan oleh Muhammad Baihaqi terhadap Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) untuk mencabut surat pengumuman ketidak lulusannya sebagai peserta seleksi CPNS 2019. Selasa, 21/12/2021.


"Kemenangan ini menunjukkan bahwa praktik diskriminasi dalam seleksi CPNS 2019 terhadap saya sebagai Difabel terbukti adanya," ujar Baihaqi melalui keterangan tertulis, Senin (20/12).


Penyandang Difabel Tunanetra Muhammad Baihaqi (35), merupakan penyandang difabel tunanetra itu tak diloloskan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemprov Jawa Tengah. Ia dianggap tak memenuhi syarat formasi khusus penyandang disabilitas Guru Matematika di SMA Negeri 1 Randublatung Kabupaten Blora.


Menurut Baihaqi, kriteria disabilitas yang ditetapkan BKD adalah tunadaksa yakni yang mengalami cacat fisik. Sedangkan dirinya adalah tunanetra.


Menurutnya, putusan MA juga menunjukkan bahwa Sekda Provinsi Jateng selaku Panselda 2019 tidak profesional dan cacat prosedur dalam pelaksanaan CPNS 2019.


"Melalui putusan ini, Provinsi Jawa Tengah sudah seharusnya segera melaksanakan putusan dan melakukan evaluasi agar reformasi birokrasi terlaksana baik," lanjut Baihaqi.


Putusan kasus dengan nomor perkara 471K/TUN/2021 ini juga telah sesuai dengan publikasi MA. Tergugat dalam hal ini Sekda Pemprov Jateng juga diminta untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara (KTUN) terkait gugatan Baihaqi.


Sebelum menempuh kasasi ke MA, Baihaqi mengalami penolakan di tingkat pertama oleh PTUN Semarang dan tingkat banding oleh PTTUN Surabaya.


PTUN Semarang maupun PTTUN Surabaya menolak gugatan Baihaqi dengan alasan pengajuan telah melewati jangka waktu 90 hari sebagaimana diatur dalam UU 5/1986 tentang PTUN.


Padahal, dalam Perma 6/2018 tersurat dengan jelas bahwa jangka waktu 90 hari tersebut dihitung sejak upaya administrasi dilakukan dan berdasarkan hitungan hari kerja bukan kalender.


Menurut Baihaqi, dengan alasan ini, majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding sama sekali tidak menyentuh substansi gugatan. Meskipun, pada proses sidang tingkat pertama, bukti-bukti dan keterangan saksi serta ahli telah menunjukkan adanya praktik diskriminasi tersebut.


"Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pemikiran formalistik (dan itu pun keliru) mendominasi alam pikir majelis sehingga keadilan yang substantif akan sangat sulit dicapai," tutup Baihaqi. #liputansbm


Pewarta : Puji S

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda