Perkebunan Sawit di Seruyan: Harapan Ekonomi yang Berujung Ketidakpastian - Liputan Sbm

Nusantara Baru Indonesia Maju

Nusantara Baru Indonesia Maju

16/1224

16/1224

31 January 2025

Perkebunan Sawit di Seruyan: Harapan Ekonomi yang Berujung Ketidakpastian

LIPUTANSBM, PALANGKA RAYA – Keberadaan perkebunan sawit di empat desa di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, membawa dampak besar bagi masyarakat. Alih fungsi lahan yang semula menjadi sumber penghidupan kini berbalik mengancam kesejahteraan mereka.

Hal ini terungkap dalam forum Diseminasi Hasil Survei Lapangan yang digelar Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) di Palangka Raya, Jumat (31/1/2025). 

Survei yang dilakukan Oktober–November 2024 ini menemukan bahwa masyarakat di Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Parang Batang, dan Paring Raya kehilangan akses terhadap hutan, lahan, dan danau yang selama ini menopang kehidupan mereka.

Dari Petani Mandiri Menjadi Buruh Sawit

Dulu, masyarakat menggantungkan hidup dari bertani, berburu, dan berdagang hasil hutan. Namun, dengan masuknya 14 perusahaan perkebunan sawit, lahan mereka berubah menjadi kebun skala industri. Kini, sebagian besar warga terpaksa menjadi buruh harian dengan upah rendah.

“Perubahan besar ini membuat masyarakat kehilangan kontrol atas tanah mereka. Mereka hanya bisa menjadi buruh dengan keterampilan bertani yang semakin tergerus,” kata Djayu Sukma Ifantara, Project Officer YMKL untuk Kalimantan.

Di Desa Paring Raya, misalnya, dua perusahaan sawit—PT Wana Sawit Subur Lestari II dan PT Musirawas Citra Harpindo—menguasai lebih dari 40 persen wilayah desa. 

Sementara di Parang Batang, tiga perusahaan menguasai hampir setengah dari total lahan desa. Kondisi serupa juga terjadi di Desa Sembuluh I dan II, di mana sebagian besar tanah kini berada di bawah kendali perusahaan sawit.

Upah Rendah, Masa Depan Tak Pasti

Beralih menjadi buruh sawit tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan. Upah harian mereka rata-rata hanya Rp 80.000, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 

Tidak hanya itu, sistem kerja di perkebunan dinilai kurang transparan, menambah ketidakpastian bagi para pekerja.

“Kehilangan lahan membuat masyarakat kehilangan kemampuan bertani secara mandiri. Mereka juga sulit mengembangkan keterampilan baru karena skema kemitraan plasma dikelola sepenuhnya oleh perusahaan,” ujar Astridningtyas, staf YMKL untuk Kalimantan.

Masalah lain muncul terkait kepemilikan tanah. Di Desa Sembuluh I dan II, misalnya, lahan plasma dikelola oleh koperasi, bukan individu. 

Situasi ini membuat warga rentan kehilangan akses jika terjadi perubahan kebijakan atau faktor eksternal lainnya.

Harapan Akan Kebijakan yang Lebih Adil

Survei YMKL mengungkapkan tiga dampak utama dari ekspansi perkebunan sawit di Seruyan:

1. Mayoritas warga kini menjadi buruh dengan upah rendah, tanpa transparansi sistem kerja.

2. Hilangnya keterampilan bertani, membuat masyarakat semakin tergantung pada perkebunan.

3. Peluang ekonomi yang menyempit, karena warga tak lagi memiliki akses ke lahan dan hutan yang dulu menjadi sumber penghidupan mereka.

“Perkebunan sawit menjanjikan kesejahteraan, tetapi dalam praktiknya justru membuat masyarakat kehilangan tanah dan penghidupan,” tutup Astridningtyas.

Dengan kondisi ini, YMKL menekankan pentingnya kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat lokal.

Harapannya, mereka bisa kembali memiliki akses terhadap lahan dan peluang ekonomi yang lebih mandiri, tanpa sepenuhnya bergantung pada perusahaan sawit. (red)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda