Jalur Tambang atau Jalur Sungai? Dilema Infrastruktur di Jantung Kalimantan Tengah - Liputan Sbm

Nusantara Baru Indonesia Maju

Nusantara Baru Indonesia Maju

22 April 2025

Jalur Tambang atau Jalur Sungai? Dilema Infrastruktur di Jantung Kalimantan Tengah

Foto: Sungai Kahayan


LIPUTANSBM.COM, Kalimantan Tengah – Rencana pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk membangun jalan darat sepanjang 144 kilometer yang menghubungkan Simpang Empat Batengkong hingga Sungai Lahei di Kabupaten Gunung Mas, memunculkan perdebatan publik. Wacana ini mengundang perhatian banyak pihak, terutama dari masyarakat lokal yang mempertanyakan urgensi proyek tersebut. Salah satu pertanyaan utama yang mencuat: Mengapa tidak memanfaatkan jalur sungai saja untuk mengangkut hasil tambang?

Untuk menjawab pertanyaan itu, tim media kami mewawancarai Capt. Herdino, Direktur Operasional PT. ISM (Inti Sejahtera Mandiri) yang juga merupakan alumni Akademi Maritim Cirebon asal Kota Palangka Raya. Dalam penuturannya, Capt. Herdino tak menampik bahwa jalur sungai sebenarnya lebih efisien dari segi biaya operasional.

“Kalau bicara operasional, lewat sungai memang lebih murah. Kalau mau lewat sungai, idealnya jalur sungai kahayan karena muaranya langsung ke Pulang Pisau,” ujarnya via whatsapp kepada awak media. Senin (21/04/2025). 

Foto: Capt. Herdino 

Namun, harapan untuk memanfaatkan jalur sungai tak semudah membalikkan telapak tangan. Berdasarkan pemantauan citra satelit dan pengamatan lapangan, kondisi sungai—khususnya Sungai Kahayan—sangat memprihatinkan.

“Dari Kahayan Tengah sampai ke Kurun, alur sungainya rusak parah dan dangkal. Ini akibat aktivitas penyedotan tambang emas yang berlangsung bertahun-tahun. Butuh waktu lama untuk memulihkan. Kalau mau dikeruk, biayanya sangat mahal. Paling jauh tongkang hanya bisa masuk sampai Desa Parahangan, karena di sana alurnya masih cukup baik,” jelas Capt. Herdino.

Ketika ditanya apakah memungkinkan menggunakan tongkang kecil untuk memindahkan hasil tambang ke stockpile, Capt. Herdino menyatakan hal tersebut memungkinkan, meski dengan tantangan logistik yang besar.

“Bisa saja, tapi konsekuensinya harus ada banyak stockpile yang tersebar di sepanjang alur sungai Kahyan. Artinya, butuh perencanaan dan investasi logistik yang matang,” tambahnya.

Situasi tak jauh berbeda juga terjadi di Sungai Kapuas. Menurutnya, dari Kecamatan Timpah hingga Kapuas Tengah, aktivitas penambangan liar oleh masyarakat menyebabkan kerusakan alur pelayaran. “Memang bisa dikeruk, tapi biayanya sangat besar. Kecuali ada pihak ketiga yang siap membangun ‘tol sungai’. Itu bisa menghabiskan biaya hingga triliunan rupiah,” ujarnya tegas.

Kondisi ini mencerminkan dilema besar antara efisiensi biaya dan kenyataan infrastruktur yang rusak berat. Jalan darat menjadi opsi yang dipilih pemerintah, meski mengundang tanda tanya dari sisi kelestarian lingkungan dan keberlanjutan. Di sisi lain, revitalisasi jalur sungai, yang sebenarnya solusi jangka panjang dan ramah lingkungan, terbentur pada masalah biaya dan kerusakan yang sudah terlanjur parah.

Pertanyaan besarnya kini: Apakah pemerintah siap berinvestasi dalam rehabilitasi sungai demi masa depan transportasi yang lebih berkelanjutan, ataukah pembangunan jalan darat tetap menjadi jalan pintas yang dipilih demi kebutuhan saat ini?

Pewarta: Andy Arianto

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda